Benik-benik Rasa

Kasihan, Indonesia
   
     Ada yang berbeda dari malam-malam yang lalu. Malam itu seonggok perhatian kau tumpahkan di sana, walau bagimu tak seberapa atau bahkan tak sengaja kau perlihatkan. Namun bagiku, itu luar biasa. Sekecil apapun perhatianmu, begitu berarti bagiku.

Malam itu, kamu bertanya tentang baju yang ku kenakan. Tentang kaos-kaosku yang biasa ku pakai ketika keluar rumah di jemputmu. 
“Biasanya adek selalu pake kaos putih, baju tidur, jaket ini (waktu itu jaket abu-abu, motif blaster di sepanjang sisi lengan bagian luar).”

Aku sempat diam berusaha memutar otak tuk dapatkan jawaban terbaik. Ingin rasanya ku jawab dengan, “Adek gak punya duit buat beli.” Tapi urung, aku malah jawab asal-asalan. Andai saja ku utarakan jawaban itu sejelas dan seringkas mungkin, entah apa reaksi yang akan digariskan di wajah itu. Wajah yang tampak berbeda dari 13 bulan lalu, ketika tak sengaja ku temui di antara dua gedung kembar (kalo kamu baca ini, aku yakin kamu gak akan ingat momen itu kan? Sudah tentu). Wajah yang kalo boleh ku sebut bagai pahatan batu itu. Wajah itu nampak kaku, dan akan semakin kaku bila ku pandangi. Jadi lebih baik ku beralih pada hidangan di meja.
Aku terus bertanya-tanya tentang sesuatu yang berbeda ketika aku jalan sama kamu dan sama temen-temen. Bagaimana seorang perempuan mengemas dirinya saat berjumpa dengan lelaki yang ia suka? Berdandan? Pikiran ini hampir buatku terjungkal dari ranjang tidur. Ketika keluar bareng temen-temen, selalu aja mereka komen dandananku. Yang lama lah, ribetlah, remponglah. Tapi kalo keluar sama kamu, bawaannya santai banget dan gak pake ribet bin lama (pernah sih Cuma sekali, itu pun pas ngurus soal pintu :D).
Dan kicauan pertama dari mereka yang membuatku merinding adalah karena,
“Kamu gak pengen ngebuat dia menunggu.” 
Aku mengernyit, mengapa aku tak ingin buatnya menunggu?
Benarkah aku begitu mendambanya, hingga aku tak tega membuat dia lelah menunggu dimakan waktu?
Benarkah aku begitu mendambanya, hingga selalu rela menunggumu daripada membuatmu menunggu?
Iyakah aku tak pernah sabar bila kan berjumpa denganmu, sekedar melepas rindu?
Oleh sebab itu tak perlu dandan yang penting lekas berjumpa, begitukah?



Padahal, percakapan di sela-sela pertemuan kita sangat jauh dari harapan. Banyak spasi, koma, titik, dan jeda panjang. Selama ini, di tengah keceriwisan saat bersamamu dan kesedihan saat kau abaikan, aku merenung, mencari tahu jawaban Mengapa aku selalu berusaha tampil dengan biasa di hadapannya? Mengenakan itu itu aja, biasa aja, dan terlalu biasa.
Seharusnya aku malu dengan pakaian-pakaian itu. Tak seharusnya ku paksa mereka jadi saksi bertemunya kami. Seharusnya ...
Jadi, jika boleh ku pinta kau untuk bertanya itu sekali lagi, akan ku tegaskan bahwa ...
Aku nyaman memakai kaos-kaos putih, tak banyak motif dan warna sebab aku ingin adanya kamu dengan segenap perhatianmulah yang kan bisa warnai hariku, itu sudah cukup. Aku memang tak pernah berusaha untuk tampil cantik. Aku lebih ingin terlihat sesederhana mungkin di hadapanmu. Kesederhanaan itu jua yang membuatku kagum padamu, dulu. Kesederhanaan itu pula yang jadi benik, penyambung dua sisi kain terkancing jadi satu.

*Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila terjadi kesamaan nama Aku, Kamu, Kita itu disengaja 😂. Sekian.

6 komentar

  1. Sepaket, Betty. Saya juga pakai apa yang saya suka, yang penting nyaman, orang tua ga larang apalagi berang, kenapa mesti menjadi-jadi serupa yang lain. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, lagipula jadi diri sendiri itu lebih baik karna apadanya kita gak bakal menipu :D

      Hapus
  2. apa adanya kamu itu lebih baik daripada harus bersolek ria pada orang yang belum jadi :)

    BalasHapus
  3. Secantik apapun pakaian yang kau kenakan harus lebih cantik budi pekertimu dong.ya gak;)

    BalasHapus

please leave your comment